Kasus pembobolan bank BNI menjadi
isu yang mengejutkan masyarakat Indonesia di akhir tahun 2003, dimana bank BNI
mengalami kerugian sebesar Rp 1,7 triliun yang diduga terjadi karena adanya
transaksi ekspor fiktif melalui surat Letter of Creadit (di singkat L/C). kasus
ini menjadi fenomenal karena selain merugikan keuangan Bank BNI tetapi juga
berimbas pada keuangan Negara secara makro.
Profil Bank BNI
Bank BNI didirikan pada tahun 1946.
Perusahaan public ini mayoritas sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Republik
Indonesia. Bank BNI merupakan bank terbesar nomor 3 di Indonesia setelah Bank
Mandiri da BCA dengan total asset pada tahun 2003 sebesar IDR. 131,49 triliun.
Visi : Menjadi Bank kebanggaan
nasional yang unggul dalam layanan dan kinerja
Misi : Memaksimalkan stakeholder
value dengan menyediakan solusi keuangan yang fokus pada segmen pasar
korporasi, komersialdan konsumer.
RINGKASAN KASUS
Awal terbongkarnya kasus
menghebohkan ini tatkala BNI melakukan audit internal pada bulan agustus 2003.
Dari audit itu diketahui bahwa pada posisi euro yang gila – gila besarnya,
senilai 52 juta euro. Pergerakan posisi euro dalam jumlah besar mencurigakan
karena peredaran euro di Indonesia terbesar dan kinerja euro yang sedang baik
pada saat itu. Dari audit akhirnya diketahui ada pembukaan L/C yang amat besar
dan Negara bakal rugi lebih dari satu triliun rupiah.
Penjelasan mengenai L/C fiktif BNI
tersebut adalah sebagai berikut:
·
Waktu kejadian : Juli 2002 s/d
Agustus 20003
·
Opening bank :
Rosbank Switzerland, Dubai Bank Kenya Ltd, The Wall Street Banking Corpdan
Middle East Bank Kenya Ltd.
·
Total nilai L/C : USD.166,79 juta
& EUR 56,77 juta atau sekitar Rp. 1,7 triliyun
·
Beneficiary/penerimaan L/C : 11
perusahaan di bawah Gramarindo Group dan 2 perusahaan dibawah Petindo Group
·
Barang ekspor : pasir kuarsa dan
minyak residu
·
Tujuan ekspor : congo dan Kenya
·
Skim : usance L/C
KRONOLOGI
1. Bank BNI cabang Kebayoran Baru menerima 156 buah L/C dengan
issuing bank: Rosbank Switzerland, Dubai Bank Kenya Ltd, the wall street
banking corp, dan middle east bank Kenya Ltd. Oleh karena BNI belum mempunyai
hubungan koresponden langsung dengan sebagian bank tersebut diatas, mereka
memakai bank mediator yaitu American express bank dan standart chartered bank
2. Beneficiary mengajukan permohonan diskonto wesel ekspor
berjangka (kredit ekspor) atas L/C – L/C tersebut diatas kepada BNI dan
disetujui oleh pihak BNI. Gramarindo Group menerima Rp. 1,6 triliun dan Petindo
Group menerima Rp. 105 M.
3. Setelah beberapa tagihan tersebut jatuh tempo, opening bank
tidak bisa membayar kepada BNI dan nasabah pun tidak bisa mengembalikan hasil
ekspor yang sudah dicairkan sebelumnya.
4. Setelah diusut pihak kepolisian, ternyata kegiatan ekspor tersebut
tidak pernah terjadi.
5. Gramarindo Group telah mengembalikan sebesar Rp. 542 M,
sisanya (Rp. 1,2 T) merupakan potensi kerugian BNI.
Dalam menanggapi kasus ini menajemen
Bank BNI mengataklan bahwa tidak ada ekspor fiktif dan belum ada kerugian,
tetapi yang ada hanya potensi kerugian (potential losses). Pertanyaan –
pertanyaan adalah apakah mengkin kerugian sebesar itu terjadi tanpa ekspor
fiktif? Minimnya informasi mengenai system pembayaran perdagangan internasional
melalui letter of credit (L/C) menimbulkan semakin banyaknya pertanyaan
mengenai kasus pembobolan bank BNI
sumber
http://lilis-rosdiana.blogspot.com/2012/03/contoh-kasus-letter-of-credit.html